Haidar Alwi: Kasus Penyewaan Helikopter Pintu Masuk Investigasi Atas Dugaan Gratifikasi Dan Korupsi Deddy Sitorus.

Uwrite.id - Haidar Alwi: Kasus Penyewaan Helikopter Pintu Masuk Investigasi Atas Dugaan Gratifikasi Dan Korupsi Deddy Sitorus.
Pendahuluan: Transparansi Pejabat Publik dalam Sorotan.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) seharusnya menjadi alat utama dalam mengukur integritas pejabat publik. Namun, ketika ada ketidaksesuaian antara penghasilan dan lonjakan kekayaan yang signifikan, maka patut dipertanyakan dari mana asal tambahan kekayaan tersebut.
Salah satu kasus yang kini menarik perhatian adalah lonjakan drastis harta kekayaan anggota DPR RI dari PDIP, Deddy Sitorus. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, asetnya mengalami peningkatan yang tidak mencerminkan rasionalitas finansial, jika hanya mengandalkan penghasilan dari gaji dan tunjangan DPR.
Namun, satu fakta yang lebih mencurigakan adalah keterkaitannya dengan kasus penyewaan helikopter untuk kampanye Pemilu 2019 yang disebut-sebut menghabiskan dana lebih dari Rp3 miliar. Apakah ini merupakan petunjuk awal dari skema gratifikasi yang lebih besar?
Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care Dan Haidar Alwi Institute , mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki tidak hanya kejanggalan LHKPN Deddy Sitorus, tetapi juga menelusuri kemungkinan adanya praktek korupsi yang terselubung.
Dugaan Awal: Penyewaan Helikopter Senilai Rp3 Miliar, dari Mana Sumber Dananya?
Pada Pemilu 2019, Deddy Sitorus maju sebagai calon legislatif dan disebut-sebut memiliki dana kampanye yang sangat besar, bahkan mencapai Rp4,83 miliar. Salah satu pengeluaran yang menarik perhatian adalah penyewaan helikopter yang disebut-sebut menelan anggaran Rp3 miliar lebih.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah:
1. Apakah dana tersebut berasal dari kantong pribadi?
2. Jika berasal dari donatur atau pihak ketiga, apakah sudah dilaporkan secara resmi dalam laporan dana kampanye?
3. Jika sumbernya tidak jelas, apakah ada kemungkinan bahwa ini bagian dari gratifikasi atau sumber dana ilegal?
Jika mengacu pada gaji resmi DPR RI, mustahil ada lonjakan kekayaan hingga miliaran rupiah dalam waktu singkat tanpa adanya pemasukan tambahan dari sumber lain.
Perhitungan Gaji DPR RI: Apakah Masuk Akal?
Sebagai anggota DPR, berikut adalah perhitungan pendapatan resmi yang diterima oleh Deddy Sitorus:
1. Gaji pokok: Rp4,2 juta per bulan
2. Tunjangan jabatan dan berbagai fasilitas: Rp61,9 juta per bulan
Total penghasilan bulanan: Rp66,1 juta
Total penghasilan selama lima tahun (60 bulan): Rp66,1 juta × 60 = Rp3,966 miliar
Jika dibandingkan dengan biaya kampanye yang mencapai Rp4,83 miliar, maka pendapatan selama lima tahun bahkan tidak cukup untuk menutupi pengeluaran kampanye. Lalu dari mana dana tersebut berasal?
Lebih dari itu, LHKPN Deddy Sitorus menunjukkan peningkatan kekayaan lebih dari Rp14 miliar dalam lima tahun terakhir. Jika gaji dan tunjangannya saja tidak cukup untuk menutupi dana kampanye, bagaimana bisa kekayaannya justru bertambah?
Peningkatan Kekayaan yang Tidak Masuk Akal.
Mari kita analisis lebih dalam kenaikan harta Deddy Sitorus berdasarkan data LHKPN:
1. LHKPN 2021: Rp15,5 miliar
2. LHKPN 2022: Rp18,9 miliar
Selisih kenaikan dalam satu tahun: Rp3,44 miliar
Total lonjakan dalam lima tahun: Lebih dari Rp14 miliar
Jika seseorang hanya memiliki penghasilan sekitar Rp3,96 miliar selama lima tahun, tetapi mengalami kenaikan kekayaan hingga Rp14 miliar, maka ada selisih lebih dari Rp10 miliar yang tidak bisa dijelaskan dari sumber pendapatan resmi.
Artinya, ada kemungkinan besar bahwa ada aliran dana tambahan yang berasal dari sumber yang tidak dilaporkan atau tidak sah.
Indikasi Dugaan Gratifikasi dan Korupsi.
Jika peningkatan harta ini berasal dari bisnis atau investasi, maka seharusnya tercatat dalam LHKPN dalam bentuk kepemilikan perusahaan, saham, atau aset produktif lainnya. Namun, dalam laporan LHKPN Deddy Sitorus, tidak ada indikasi bahwa sumber peningkatan kekayaannya berasal dari investasi atau usaha yang sah.
Beberapa kemungkinan yang perlu diselidiki:
1. Adakah aliran dana dari pihak ketiga yang tidak dilaporkan dalam LHKPN?
2. Apakah ada transaksi keuangan yang mencurigakan yang tidak tercatat dalam laporan resmi?
3. Apakah ada upaya menyembunyikan penerimaan gratifikasi melalui metode pencucian uang?
Kasus Penyewaan Helikopter: Petunjuk Penting bagi KPK.
Kasus penyewaan helikopter dengan anggaran miliaran rupiah bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri lebih dalam sumber kekayaan Deddy Sitorus.
Jika memang ada aliran dana besar yang tidak dilaporkan secara transparan, maka ada kemungkinan kuat bahwa praktik gratifikasi telah terjadi.
Skenario yang paling mungkin adalah bahwa ada sumber pendanaan dari pihak tertentu yang mengharapkan imbalan politik di kemudian hari.
Sebagai wakil rakyat, seorang anggota DPR memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa semua transaksi keuangan dilakukan secara sah dan transparan. Jika terbukti ada sumber pendanaan gelap, maka ini bisa menjadi indikasi kuat adanya konflik kepentingan atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan.
Haidar Alwi: KPK Harus Bertindak Cepat.
Menurut Haidar Alwi, KPK tidak boleh diam melihat dugaan ketidaksesuaian dalam LHKPN Deddy Sitorus.
"Jika seseorang hanya memiliki penghasilan sekitar Rp4 miliar dalam lima tahun, tetapi hartanya bertambah lebih dari Rp14 miliar, ada yang tidak wajar di sini. KPK harus segera menyelidiki sumber dana tersebut!" tegasnya.
Selain itu, Haidar Alwi juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap dana kampanye. Jika seorang caleg menghabiskan miliaran rupiah untuk kampanye, tetapi tidak memiliki sumber pendanaan yang jelas, maka bisa jadi dana tersebut berasal dari pihak tertentu yang memiliki kepentingan tersembunyi.
"KPK harus menyelidiki dari mana sumber pendanaan kampanye yang begitu besar ini berasal. Jika memang ada aliran dana dari pihak ketiga yang tidak dilaporkan, maka ini adalah indikasi gratifikasi dan harus diproses secara hukum," lanjut Haidar Alwi.
Kesimpulan: Ujian bagi KPK dan Integritas DPR.
Kasus Deddy Sitorus bukan hanya soal laporan keuangan yang tidak transparan, tetapi juga merupakan ujian bagi integritas sistem antikorupsi di Indonesia.
Jika KPK tidak segera bertindak, maka praktik serupa akan semakin banyak terjadi dan merusak kredibilitas wakil rakyat.
Kini, semua mata tertuju pada KPK. Apakah mereka akan menyelidiki dugaan gratifikasi ini secara mendalam, atau justru membiarkannya berlalu begitu saja?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan seberapa serius Indonesia dalam memerangi korupsi.

Tulis Komentar