Guru, Keteladanan, dan Kemandirian Finansial

Tokoh | 03 Dec 2025 | 07:43 WIB
Guru, Keteladanan, dan Kemandirian Finansial
Sujatnika, S. Pd. (Foto: Ist)

Uwrite.id - Oleh Sujatnika, S.Pd — Guru Senior SMAN 1 Rancah

Guru merupakan salah satu pilar penting dalam pelayanan publik. Dalam konteks sekolah, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga pembentuk karakter. Karena itu, setiap tindakan guru selalu dituntut selaras dengan nilai-nilai pendidikan dan perkembangan sosial.

Satu peristiwa yang saya alami beberapa waktu lalu menjadi pengingat pentingnya pendekatan humanis dalam mendidik.

Seorang siswa menendang pintu hingga rusak. Setelah dipanggil dan dinasihati, saya memintanya membuat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya. Orang tuanya saya undang untuk berdiskusi. Ia sempat menunjukkan kemarahan dan berencana menghukum anaknya.

Namun, saya menenangkan dan menegaskan bahwa sekolah bukan tempat kekerasan. Kami mencari jalan keluar yang adil: pintu diperbaiki, anak dibina. Beberapa bulan kemudian, perilaku siswa tersebut berubah positif dan ia mulai menunjukkan prestasi.

Kisah tersebut memperlihatkan bahwa tantangan menjadi guru kini semakin kompleks. Selain memahami teori pendidikan, guru harus memiliki kepekaan sosial, budaya, dan memahami berbagai regulasi mengenai perlindungan anak.

Jawa Barat, misalnya, secara konsisten menggaungkan komitmen pencegahan kekerasan dan perundungan di sekolah. Dalam situasi demikian, guru dituntut terus mengembangkan kemampuan dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Penghargaan bagi guru sejatinya hadir sebagai akibat dari kerja baik, bukan hasil dari tuntutan.

Di luar persoalan pedagogis, perbincangan mengenai kondisi finansial guru juga kerap muncul. Tidak sedikit yang menyuarakan kebutuhan peningkatan kesejahteraan.

Namun, sebelum berbicara tuntutan, ASN termasuk guru, perlu memahami kondisi ekonomi nasional secara lebih luas. Empati terhadap situasi masyarakat juga menjadi bagian dari etika profesi.

Berdasarkan pengamatan saya, kendala finansial banyak terjadi bukan semata karena keterbatasan pendapatan, tetapi pola konsumsi yang kurang tepat. Gaya hidup yang tidak sebanding dengan kemampuan sering kali menjadi sumber persoalan.

Dengan perencanaan sederhana, guru sebenarnya dapat membangun stabilitas finansial. Gaji bulanan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tunjangan sertifikasi, bila ditabung selama lima tahun, dapat menjadi modal untuk membeli rumah.

Pada tahun keenam, menyisihkan sekitar Rp40 juta sudah memungkinkan untuk membeli sebagian lahan, sekitar 300 bata, yang kemudian dapat ditanami komoditas produktif.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun, lahan tersebut dapat berkembang hingga 2,5 hektar dengan hasil panen kelapa yang bernilai sekitar Rp7 juta setiap masa panen.

Jika fondasi ini terbentuk, guru baru dapat mempertimbangkan pengeluaran konsumtif, seperti membeli kendaraan atau mengembangkan usaha lain.

Intinya, kemandirian finansial lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola keinginan daripada besarnya penghasilan. Berapa pun jumlahnya, tidak akan pernah cukup apabila diperuntukkan memuaskan nafsu konsumsi.

Perjalanan menjadi guru pada akhirnya adalah perjalanan memperjuangkan kebijaksanaan. Di ruang kelas, guru memanusiakan peserta didik. Dalam kehidupan pribadi, guru mengelola rezeki dengan bijak agar tidak terbebani tagihan dan tekanan finansial.

Keteladanan seorang guru tercermin dari keseimbangan antara integritas dalam mendidik dan kedisiplinan dalam mengatur kehidupan. Guru yang merdeka, baik secara moral maupun finansial, akan lebih mampu menghadirkan pembelajaran yang memerdekakan peserta didik.***

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar