Gunungkidul Hidupkan FKY 2025: Rayakan Hasil Bumi, Hidupkan Ekonomi Rakyat

Budaya | 11 Oct 2025 | 23:46 WIB
Gunungkidul Hidupkan FKY 2025: Rayakan Hasil Bumi, Hidupkan Ekonomi Rakyat
Pasukan Bergodo yang mengawal kirab FKY 2025 ( Foto Yusuf )

Uwrite.id - Gunungkidul, — Suara gamelan berpadu dengan lenguhan sapi dan tawa anak-anak desa mengiringi pembukaan Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Lapangan Logandeng, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul, Sabtu (11/10).

Tahun ini, festival tahunan itu mengusung tema “Adoh Ratu Cedak Watu”, yang berarti jauh dari pusat kekuasaan, namun dekat dengan akar budaya dan tanah tempat berpijak. Tema ini menjadi simbol kekuatan masyarakat desa dalam menjaga tradisi, alam, dan kemandirian ekonomi.

Peserta FKY 2025 yang berasal dari empat kabupaten dan 1 kota ( Foto Yusuf )

Bukan Sekadar Pesta Rakyat

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menegaskan bahwa FKY bukan hanya acara hiburan. Festival ini, katanya, adalah bentuk penghargaan terhadap hasil bumi dan para pelaku yang menjaganya.

“FKY bukan hura-hura. Ini momentum untuk menghargai bumi dan mereka yang hidup dari tanah,” ujar Ni Made saat membuka acara.

Pernyataan itu terlihat nyata dalam pawai hewan ternak, yang menjadi sorotan pengunjung. Sapi, kambing, hingga kerbau berlenggak-lenggok di jalan desa, menggambarkan kedekatan manusia dengan hewan pekerja di ladang.

Prosesi pembukaan FKY 2025 dengan memberi makan sapi ( Foto Yusuf)

“Pawai ini simbol terima kasih. Hewan-hewan itu bagian dari hidup petani,” tambahnya.

Ekonomi Warga Ikut Bergerak

Selain pertunjukan budaya, deretan stan UMKM di area festival ramai diserbu pengunjung. Makanan khas seperti thiwul, jadah tempe, dan wedang uwuh menjadi incaran.

Siti Maryani (42), warga Logandeng, mengaku dagangannya laris manis selama acara.

“Biasanya sepi, tapi FKY ramai sekali. Sehari bisa dapat dua kali lipat dari biasanya,” katanya sambil melayani pembeli.

Tak hanya pedagang makanan, para pengrajin juga kecipratan berkah. Suparno (55), pembuat topeng kayu asal Playen, merasa terbantu karena produknya banyak dilirik pengunjung dari luar kota.

“Ada yang pesan buat dekorasi kafe di Jakarta. Saya senang sekali, akhirnya topeng saya dikenal luas,” ujarnya bangga.

Sekda DIY menyebut, FKY menjadi contoh nyata bagaimana kegiatan budaya dapat menggerakkan ekonomi lokal.

“Kita harus melihat festival seperti ini sebagai investasi sosial-ekonomi. Banyak masyarakat yang terbantu,” tegas Ni Made.

Ritual Alam dan Tradisi yang Bertahan

FKY 2025 juga menampilkan ritual adat khas Gunungkidul, seperti Kirim Parem untuk Dewi Sri dan Nglangse Pohon. Dalam Kirim Parem, warga membawa rempah dan hasil bumi sebagai bentuk syukur atas panen melimpah.

Tradisi Nglangse Pohon dilakukan dengan menyelimuti pohon besar menggunakan kain putih — tanda penghormatan terhadap alam.

Pak Darmo (60), tokoh masyarakat Logandeng, menjelaskan makna di balik ritual ini.

“Kalau sudah diselimuti, orang enggan nebang. Ini cara kami menjaga alam tanpa harus bicara panjang,” katanya.

Salah satu stand UMKM dari Gunung Kidul (Foto Yusuf )

Menurut Ni Made, tradisi semacam ini adalah contoh nyata filosofi “Adoh Ratu Cedak Watu”.

“Masyarakat mungkin jauh dari pusat pemerintahan, tapi mereka dekat dengan nilai kehidupan yang penting: menjaga bumi,” ujarnya.

Gunungkidul, Simbol Ketangguhan dari Pinggiran

FKY juga menjadi panggung bagi daerah-daerah pinggiran yang selama ini jarang tersorot. Gunungkidul, yang dulu identik dengan kekeringan dan keterbatasan, kini menampilkan wajah lain — penuh semangat, kreatif, dan berdaya saing.

“Gedangsari itu contohnya. Meski pernah masuk wilayah miskin, sekarang produknya bisa dijual di bandara YIA. Ini bukti semangat warga,” kata Ni Made.

Festival yang berlangsung 11–18 Oktober 2025 ini menghadirkan pameran seni, kuliner rakyat, hingga pertunjukan musik lintas generasi. Ribuan pengunjung diperkirakan datang setiap harinya.

Wisatawan Mancanegara yang turut hadir di acara FKY 2025 ( Foto Yusuf)

Rina Putri (25), wisatawan asal Bantul, mengaku datang khusus untuk menikmati suasana pedesaan yang autentik.

“Saya senang lihat warga ramah, makanan enak, dan acaranya penuh makna. Tidak sekadar hiburan, tapi juga pelajaran tentang bumi,” ujarnya.

Lebih dari Festival

FKY 2025 di Gunungkidul bukan sekadar pesta budaya, tetapi juga ruang refleksi: bahwa menjaga bumi dan budaya bisa dilakukan dari desa, dengan cara sederhana namun bermakna.

“Kita hidup dari tanah, jadi sudah selayaknya kita hormati tanah itu. Budaya adalah cara paling indah untuk melakukannya,” pungkas Ni Made Dwipanti Indrayanti. (Yusuf)
 

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar