Gen+ Center: Belajar dari Iran, Mari Menjadi Syiah.

Uwrite.id - Belajar dari Iran, Mari Menjadi Syiah
Oleh: Pendiri GEN+ Center
Kalimat dalam judul ini bukan ajakan berpindah mazhab secara ritual. Ia adalah ajakan untuk membuka mata, mendekonstruksi stigma, dan memahami apa yang selama ini sengaja disembunyikan dari publik Indonesia tentang Syiah, dan tentang Iran. Kita sudah terlalu lama dicekoki dengan kebencian. Maka izinkan saya bertanya: salahkah jika kita belajar dari Iran dan meneladani Syiah, jika itu membawa bangsa kita kepada keberanian, ilmu, dan kemandirian?
Karena kenyataannya hari ini: Syiah bukan hanya mazhab. Ia adalah sikap hidup.
Sikap menolak kezaliman.
Sikap berpihak pada rakyat miskin.
Sikap memuliakan ilmu.
Sikap berani berdiri tegak walau sendirian.
Iran: Negeri yang Berdiri di Atas Prinsip
Di tengah tekanan ekonomi, blokade militer, dan gempuran propaganda global, Iran tetap berdiri. Negara yang mayoritas Syiah ini telah menunjukkan kepada dunia bahwa agama tidak harus membuat bangsa lemah, tapi justru bisa menjadi energi kebangkitan.
Iran mampu membuat rudal, satelit, drone, hingga reaktor nuklir, di tengah embargo. Mereka tidak bergantung pada Barat, tidak tunduk pada Arab Saudi, dan tidak menjual martabat demi kursi PBB.
Apakah ini semua karena sekadar kekuasaan? Tidak.
Kekuatan Iran bersumber dari keyakinan spiritual yang berakar pada sejarah Karbala, pada cinta kepada Nabi dan Ahlulbait-nya. Mereka menyebutnya madzhab Syiah. Kita bisa menyebutnya mazhab keberanian.
Apa Artinya Menjadi Syiah?
Mari luruskan. Menjadi Syiah bukan berarti mengganti syahadat, bukan berarti menghina sahabat, bukan pula berarti membenci Sunni. Itu semua hanyalah propaganda murahan yang disebar oleh Wahabi dan antek-anteknya untuk memecah-belah umat.
Menjadi Syiah artinya:
Berani berkata tidak pada kezaliman.
Menghidupkan ilmu sebagai pondasi kehidupan.
Menolak menjual agama kepada penguasa.
Menghargai perempuan dan akal sehat.
Menjadikan cinta kepada keluarga Nabi sebagai poros kehidupan.
Jika itu semua dianggap salah, maka kita sedang hidup dalam zaman di mana kebenaran ditentukan oleh mayoritas yang bising, bukan oleh nilai yang murni.
Syiah di Indonesia: Dihujat Tanpa Dibaca
Di negeri ini, mazhab Syiah lebih sering dicaci daripada dikaji. Padahal sejarah mencatat: banyak ulama Nusantara mempelajari tasawuf, falsafah, dan tafsir dari tradisi Ahlulbait. Bahkan jejak kulturalnya masih tampak dalam tradisi Asyura, tahlilan, dan puji-pujian kepada Imam Ali di berbagai daerah.
Namun hari ini, Syiah dimusuhi hanya karena tidak sesuai dengan agenda Arab Saudi dan jaringan Wahabi yang menyusup lewat beasiswa, lembaga dakwah, dan label "tauhid murni". Padahal justru Syiah-lah yang menjadi benteng terakhir melawan hegemoni politik Arab atas Islam.
Maka belajar dari Iran, mari menjadi Syiah, bukan dalam label, tapi dalam nilai.
Bangsa yang Butuh Mazhab Keberanian
Bangsa ini tidak sedang krisis fatwa. Kita sedang krisis moral dan keberanian.
Kita butuh agama yang menumbuhkan, bukan menindas.
Kita butuh spiritualitas yang membebaskan, bukan yang mengikat dengan rantai budaya Arab.
Jika Syiah menawarkan semangat perlawanan, maka itu adalah hadiah peradaban.
Jika Iran bisa menginspirasi anak muda untuk mencintai ilmu dan negerinya sendiri, maka kita tak perlu takut menyebut:
Mari menjadi Syiah dalam hati, dalam cara berpikir, dan dalam keberpihakan pada kebenaran.
Tentang Penulis
R. Hidayat adalah pendiri GEN+ Center (Generasi Esensial Nusantara Plus), sebuah gerakan literasi dan perlawanan budaya yang fokus pada edukasi kritis terhadap narasi sektarian dan adu domba.
Tulis Komentar