Faksionalisme dan Perbedaan Pendapat di Lingkungan NU Pasca Muncul Pasangan AMIN

Opini | 22 Sep 2023 | 22:52 WIB
Faksionalisme dan Perbedaan Pendapat di Lingkungan NU Pasca Muncul Pasangan AMIN
Kemitraan Anies dengan Muhaimin—seseorang yang diharapkan melambangkan dan mendukung nilai-nilai NU—dianggap tidak sesuai secara ideologis.

Uwrite.id - Kekhawatiran ideologis menjadi yang terdepan dalam banyak keberatan atas kemitraan Muhaimin dengan Anies. Sejak Anies berhasil menggalang dukungan kelompok Muslim garis keras saat menjabat sebagai gubernur Jakarta pada tahun 2017, ia memiliki citra konservatif yang bertentangan dengan nilai-nilai moderasi, keterbukaan, dan toleransi yang dianut oleh para nahdliyin.

Oleh karena itu, kemitraan Anies dengan Muhaimin—seseorang yang diharapkan melambangkan dan mendukung nilai-nilai NU—dianggap tidak sesuai secara ideologis oleh beberapa elemen nahdliyin. 

Belum lagi Anies juga didukung oleh PKS yang konservatif—yang berakar pada gerakan tarbiyah yang diilhami Ikhwanul Muslimin, yang secara ideologis berbeda dengan NU. Maka tak heran jika banyak nahdliyin yang berharap PKS keluar dari koalisi Anies pasca deklarasi, seperti yang diakui Muhaimin sendiri beberapa waktu belakangan.  

Kekhawatiran ideologis ini muncul dalam konteks perdebatan yang terus berlanjut di kalangan komunitas NU mengenai peran politik organisasi tersebut dan hubungannya dengan PKB. 

Di tingkat akar rumput, dan khususnya di media sosial, ketegangan seputar pencalonan Muhaimin tercermin dalam perpecahan antara pihak yang menentang pencalonan dengan alasan menjaga “netralitas” NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan pihak yang meyakini bahwa identitas politik PKB tidak terlepas dari lingkungan sosio-ideologis NU.

Ketegangan ini muncul segera setelah Kyai Yahya Cholil Staquf, Ketua Pengurus Besar NU Tingkat Nasional (PBNU), dengan terbuka mengingatkan calon presiden mana pun untuk tidak menyeret organisasi tersebut ke dalam politik pragmatis. 

Hanya berselang beberapa hari setelah pengumuman pasangan Anies-Muhaimin, pernyataan Yahya tentu ditujukan kepada Ketum PKB tersebut.

Menanggapi teguran publik Yahya tersebut, banyak kader NU dan anggota PKB pro-Muhaminin yang turun ke media sosial. Tagar #SayaNUSayaPKB (“Saya NU, maka Saya PKB”) banyak diunggah dan di-tweet untuk menunjukkan bahwa NU dan PKB pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Pendukung gerakan ini antara lain adalah kyai muda dan berpengaruh Imam Jazuli, seperti yang diposting di saluran X resmi PKB.

Perselisihan akar rumput ini pada dasarnya berakar pada faksionalisme di tingkat elit. Inti dari konflik ini adalah persaingan politik antara tiga faksi utama NU: kubu Muhaimin; pendirian “Rembang”; dan loyalis Abdurrahman Wahid (yang akrab disapa “Gus Dur”), mantan presiden Indonesia dan salah satu pendiri PKB. Pendirian Rembang beranggotakan Ketua PBNU Yahya, dan adiknya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, serta para kyai dan fungsionaris NU lainnya yang berada di bawah naungan mereka. Kedua nama ini berasal dari jajaran tokoh NU dan pesantren ternama yang berakar di Rembang, Jawa Tengah.

Tak mengherankan, tak lama setelah deklarasi Anies-Muhaimin dan kemunculan pasangan tersebut di media, Menteri Yaqut memberikan pernyataan yang lebih jauh dari pernyataan kakaknya, yaitu menghimbau agar para pemilih tidak mendukung calon yang telah menciptakan dan memanfaatkan kepentingan sosial-keagamaan, polarisasi untuk tujuan politik. 

Tidak ada keraguan bahwa pernyataan ini ditujukan kepada Anies, atau mungkin dimaksudkan untuk semakin mengobarkan api ketegangan ideologis antara pendukung NU dan elemen konservatif, sehingga merugikan Muhaimin.

Persaingan antara kelompok Muhaimin dan kubu Rembang berkisar pada Muktamar atau Kongres PBNU 2021, di mana Yahya terpilih sebagai ketuanya, mengalahkan petahana dua periode Said Aqil Siroj, yang dikenal sangat dekat dengan Muhaimin. 

Munculnya Yahya sebagai Ketua baru berarti berkurangnya—atau bahkan lenyap sama sekali—kekuatan politik Muhaimin di PBNU.

Menyusul kritik terselubung Yahya dan Yaqut terhadap dukungan Muhaimin terhadap Anies, Said Aqil memberikan dukungan kepada Muhaimin dengan menyatakan bahwa PKB lahir dari rahim NU sendiri sehingga tidak dapat dipisahkan. 

Ia pun secara terbuka bersimpati kepada Muhaimin ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba menghidupkan kembali penyidikan terhadap Muhaimin yang sudah terbengkalai selama lebih dari satu dekade, menyinggung potensi penyidikan bermuatan politik.

Kendatipun Said Aqil belum secara resmi mendukung pencalonan Muhaimin secara terbuka, ia dilaporkan telah meminta loyalisnya untuk mendukung koalisi politik mana pun yang menampilkan Muhaimin.

Sementara itu, ketegangan antara kubu Muhaimin dan simpatisan mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bermula dari perselisihan yang belum terselesaikan.

Konflik ini mulai tersulut sejak peralihan kepemimpinan PKB dari kubu Gus Dur ke Muhaimin sekitar tahun 2008, ketika kedua belah pihak mengklaim kepemimpinan yang sah atas partai tersebut. 

Muhaimin muncul sebagai pemenang dalam pertarungan hukum yang terjadi kemudian, dan memperoleh komando resmi atas organisasi partai.

Bukan rahasia lagi jika keluarga dan loyalis Gus Dur masih menyimpan dendam terhadap Muhaimin. 

Hal ini kembali mencuat ke publik setelah Muhaimin menyatakan dalam sebuah wawancara televisi bahwa ia tidak mendalangi kudeta terhadap Gus Dur, melainkan ia adalah korban kudeta tersebut. 

Pernyataannya tersebut langsung mengundang cemoohan dari putri-putri mantan presiden tersebut. Allisa Wahid menuding Muhaimin menyebarkan informasi palsu dan menuntut agar Muhaimin meminta maaf dan tidak memanfaatkan Gus Dur dengan cara apa pun untuk kepentingan politiknya sendiri. 

Sementara itu, Yenny Wahid—yang namanya beredar di jajak pendapat sebagai calon wakil presiden—juga berkali-kali mempertanyakan kesetiaan, kesopanan, dan akhlak Muhaimin, terutama mengingat sejarah konfliknya dengan Gus Dur. Namun, Yenny juga dinilai beberapa kalangan gagal saat dia sempat menjabat sebagai komisaris Garuda Indonesia, di saat BUMN itu tengah mengalami permasalahan keuangan yang pelik.

Dengan serangan yang datang terhadap Muhaimin dari semua sisi, dan faksionalisme serta persaingan elit yang mengganggu pendirian NU, ketua PKB menghadapi situasi yang secara fundamental berbeda dengan pemilu tahun 2019, ketika NU dengan tegas memberikan dukungannya kepada satu orang, Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi.

Kondisi yang memfasilitasi persatuan yang lebih besar di dalam NU pada saat itu—adanya ancaman eksternal dari unsur-unsur Islam konservatif—sudah tidak ada lagi saat ini karena relatif berhasilnya kebijakan antiradikalisme Jokowi yang sistematis, meski kejam. 

Harapan Muhaimin nampaknya bertumpu pada konsolidasi dukungan santri akar rumput NU dan simpatisan melalui patronase kyai setempat.

Untungnya bagi Muhaimin, ia masih mendapat banyak dukungan dari para pemimpin karismatik NU yang antusias terhadap pencalonannya. 

Selain kelompok yang disebut “Klik Cirebon”, yang mencakup Said Aqil Siroj dan Imam Jazuli, Muhaimin mengharapkan dukungan untuk pencalonannya dari nama-nama terkemuka di Jawa Timur. 

Yang paling utama di antara mereka adalah Kyai Kholil As'ad dari Situbondo, yang berulang kali diklaim Muhaimin telah memberinya mandat untuk menjadi pasangan Anies. Mantan Wakil Ketua Pengurus Provinsi (PWNU) NU Jawa Timur, Kyai Abdussalam Shohib dari Jombang —yang baru-baru ini diberhentikan mendadak dari jabatannya oleh PBNU Yahya—juga siap mendukung Muhaimin. 

Demikian pula berbagai kyai senior dan junior lainnya seperti Abdurrahman, Al Kautsar dari Kediri.

Ada anggapan luas bahwa pilihan Anies terhadap Muhaimin didasarkan pada logika untuk memperbaiki kinerja pemilunya yang buruk di Jawa Timur. 

Memang benar bahwa Jawa Timur akan menjadi medan pertempuran utama pada pemilu tahun 2024 mendatang, sama seperti pemilu presiden sebelumnya, karena signifikansi politik-budayanya sebagai basis nahdliyin dan karena jumlah pemilih yang memenuhi syarat di sana: lebih dari 31 juta, tertinggi kedua setelah Jabar 35 juta. 

Tentu saja, dukungan Muhaimin di kalangan kyai di Jawa Timur akan terbukti penting dalam mengarahkan dukungan pemilih terhadap kubu Anies.

Namun, perlu dicatat bahwa PKB tidak memperoleh mayoritas suara yang cukup besar di Jawa Timur pada pemilu tahun 2019, dan memperoleh persentase suara yang hampir sama—sekitar 19% —dengan PDI-P, yang kini menjadi kendaraan politik Ganjar Pranowo. Partai Demokrat, yang sangat kecewa dengan pilihan Anies terhadap Muhaimin, masih memiliki pengaruh di Jawa Timur dan kemungkinan besar tidak akan membiarkan Anies berjalan mulus. 

Demikian pula dengan partai koalisi Gerindra dan Golkar yang dimotori oleh Prabowo Subianto sendiri yang memperoleh suara gabungan sebesar 21% di Jawa Timur. Ketika mempertimbangkan ketidakpuasan simpatisan Gus Dur di provinsi tersebut, Anies dan Muhaimin akan menghadapi pertarungan yang sangat sulit di masa depan.

Dengan tidak adanya ancaman eksternal yang dapat mengikat NU, kunci untuk meraih dukungan dari kelompok Nahdliyin di Jawa Timur mungkin terletak pada tiga hal. Yang pertama dan terpenting, setiap kandidat perlu memiliki pengetahuan mendalam tentang dinamika internal NU, seluk-beluknya, dan konteksnya agar mampu memanfaatkan persaingan antar faksi untuk keuntungannya. 

Seperti yang ditunjukkan di atas, perselisihan internal di dalam NU memang nyata dan mungkin akan mengganggu keseimbangan pemilu 2024 secara signifikan.

Kedua, memenangkan dukungan dalam persaingan pemilu yang ketat di Jawa Timur memerlukan investasi sumber daya material yang signifikan sebagai patronase karena para pemilih memerlukan insentif material yang lebih besar agar dapat terpengaruh. 

Persaingan ini mungkin ditandai oleh apa yang Edward Aspinall sebut sebagai “politik tambal sulam” , di mana para kandidat berjuang keras dan lama demi mendapatkan dukungan dari daerah-daerah kecil di daerah pemilihan (misalnya desa atau pesantren) dari waktu ke waktu untuk memenangkan suara. 

Hasil dari strategi ini seringkali ditentukan oleh penargetan patronase yang efektif kepada para pemilih (dan memastikan adanya timbal balik dalam bentuk suara) melalui jaringan perantara yang rumit dan sistematis. 

Kyai lokal dan jaringannya, yang memiliki wawasan terperinci mengenai perilaku pemilih, seringkali menjadi pemain yang berpengaruh dalam situasi seperti ini.

Dan yang terakhir, mengingat Jawa Timur tidak bisa dianggap sebagai konstituen politik yang homogen, maka dukungan dari tokoh-tokoh NU terkemuka lainnya di wilayah tersebut di luar faksi-faksi yang bertikai—seperti gubernur petahana, Khofifah Indar Parawansa, atau Mahfud MD, seorang menteri senior pada masa pemerintahan Jokowi administrasi—mungkin terbukti penting. 

Disepakati secara luas bahwa Khofifah memegang kendali atas kader perempuan NU di Jawa Timur, sedangkan Mahfud MD mungkin memegang kunci untuk memenangkan suara nadhliyin Madura – yang kerap menunjukkan pola pemungutan suara yang berbeda dibandingkan rekan-rekan mereka di daratan Jawa, seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya. ditampilkan.

Secara keseluruhan, Anies dan Muhaimin akan menghadapi jalan terjal jelang pemilu 2024. Fakta bahwa mereka mendeklarasikan pasangannya lebih awal memberikan keuntungan untuk menilai dan menangani hambatan-hambatan yang masuk akal sebelum pendaftaran resmi para kandidat di komisi pemilihan. Namun, hal ini juga membuat mereka rentan terhadap tindakan balasan dan manuver oleh siapa pun yang ingin menghalangi pencalonan mereka. (*)

 

 

 

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar

0 Komentar