Fahri Bachmid: Tidak Tersedia Alat Konstitusional untuk Mereview Produk Putusan MK Terkait Usia Capres-Cawapres
Uwrite.id - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia yang juga ketua Mahkamah Partai Bulan Bintang (PBB) Fahri Bachmid memberikan pandangan serta analisis hukumnya terkait polemik putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres sehingga dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Fahri Bachmid berpendapat bahwa sebenarnya jika ditelaah lebih jauh secara cermat, baik dari aspek filosofis maupun legalistik, tidak cukup terdapat argumentasi yang memadai untuk dengan mudah menjustifikasi bahwa produk putusan dari lembaga etik dapat membatalkan produk putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sebab, pada hakikatnya MK dengan putusannya adalah organ konstitusional yang sangat limitatif terkait dengan kewenagan atributifnya, termasuk sifat putusannya yang bercorak "ergo omnes" maupun "final and binding’,” kata Fahri, Sabtu (04/11).
Ketua Mahkamah Partai Bulan Bintang ini menambahkan, dengan demikian sepanjang mengenai produk putusan yang telah dikeluarkannya sama sekali tidak dibuatkan sebuah mekanisme banding atau peninjauan kembali untuk mereview terhadap segala hal.
Baik materil maupun formil yang melingkupinya, apakah yang berkaitan dengan keadaan atau fakta hukum tertentu, aspek legal serta prosedur hukum acara dan seterusnya.
Fahri menjelaskan, tidak terkecuali unsur dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan putusan dalam forum rapat permusyawaratan hakim (RPH). Misal, terdapat pendapat berbeda ‘dissenting opinion’ dan/atau alasan hukum yang berbeda ‘concurring opinion’ para hakim konstitusi.
Tetapi, ketika telah dibacakan dalam forum persidangan yang terbuka untuk umum, maka tentunya disitulah letak keabsahan atau keberlakuannya. Apakah sifatnya putusan MK yang ‘Self Implementing’ atau ‘Legally Null And Void’ atau ‘Conditionally Constitutional’ ataukah yang ‘Conditionally Unconstitutional’.
“Sehingga tidak tersedia alat konstitusional untuk dapat mengujinya,” tegas Fahri. Hal ini tentunya berbeda yang konstruksi pelembagaan forum etik MK, yang hanya berdasarkan pada mandat hukum setingkat UU.
Di mana UU mendelegasikan agar MK wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.
Sehingga jika mencoba mendalami dengan metode penafsiran yang sistematis serta teleologis, maka sesungguhnya produk putusan MKMK dalam hal hakim terlapor atau hakim terduga, menurut Majelis Kehormatan, jika terbukti melakukan pelanggaran, maka konsekwensi hukumnya adalah diberikan sanksi, baik ringan maupun berat, dan sangat sulit untuk menalar jika putusan etik dapat menganulir putusan pengadilan (MK).
“Saya belum menemukan suatu argumentasi konstitusional dan hukum yang kokoh terkait dengan ekstensifikasi produk putusan lembaga etik yang dapat membatalkan produk putusan MK, belum memadainya teori serta doktrin hukum yg relevan dangan hal itu.
Sebab secara filosofis, sesungguhnya putusan MKMK adalah dalam rangka menegakkan ‘Code of Conduct’ yaitu menegakkan ‘Sapta Karsa Hutama’ sebagaimana diatur dalam peraturan MK RI Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi MK RI,” jelasnya. (*)
Tulis Komentar