Drama Situasi dan Adu Kadigdayan dalam Mitologi Gambaran 2024

Pemilu | 15 Oct 2023 | 16:04 WIB
Drama Situasi dan Adu Kadigdayan dalam Mitologi Gambaran 2024
Adakah pertarungan kekuasaan yang tidak mendapatkan cinta dari rakyat. Ada. Dalam kitab Ramayana dikisahkan, seorang putri raja cantik jelita bernama Sukesi.

Uwrite.id - Politik kerap diibaratkan sebagai dua orang lelaki berkelahi. Mereka terus berebut simpati rakyat yang acap disimbolkan sebagai perempuan bak bidadari dari sorgaloka.

Dalam mitologi Yunani kita mengenal Cleopatra yang diperebutkan penuh intrik antara Caesar dan Brutus. Justru antara raja dan senopatinya. Dalam kisah Ramayana kita mengenal Sinta yang diperebutkan antara Rama dan Rahwana.

Adakah pertarungan kekuasaan yang tidak mendapatkan cinta dari rakyat. Ada. Dalam kitab Ramayana dikisahkan, seorang putri raja cantik jelita bernama Sukesi. Sang putri diperebutkan para raja dalam laga kesaktian.

Sampai pada gilirannya Wisrawa mendapatkan kemenangan di arena laga. Sukesi yang tidak mencintai pertapa tua itu menguji lagi. Pak tua boleh mengawininya, asalkan bisa mewedar ilmu Sastrajendra. Untuk itu Pak Tua bersedia mewedar ilmu itu dalam praktik politik ‘kamasutra’.

Satu perkawinan yang berkonsep pada pemenuhan kekuasaan berjenis kelamin lelaki, dan wanita adalah medan laga di tempat tidur. Wisrawa bahkan bersabda di atas laga perkelaminan: cinta hanyalah penghalus napsu kekuasaan.

Maka yang lahir adalah anak-anak kekuasaan bersosok raksasa: Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna. Bahkan anak ragil mereka yang terlahir ksatria, Gunawan Wibisana, kelak justru berpihak kepada musuh kakak-kakaknya, Rama.

Apakah riwayat Sastrajendra akan berulang. Urut saja nama-nama raja yang tidak dicintai rakyatnya. Sampai pun pada sastra modern. Benarkah pertarungan politik kekuasaan yang memenangkan penguasa baru, akan mendapatkan cinta rakyatnya.

Lalu Dewi Sukesi, Sukesi, mengapa laik diksi sebuah suksesi. Apakah ini satu ramalan berabad lalu, dan muncul di alam modern dengan penamaan mirip frasa plesedan. Sila Anda menginovasi, tapi setiap diksi bisa menjadi penanda simbol atas zaman yang sebenarnya tidak pernah berubah.

Lalu bagaimanakah bila yang semacam itu berlangsung. Kala pertarungan politik memperdaya rakyat semata demi kekuasaan. Kekuasaan yang mesti didapat dengan segala cara. Bukan demi amanat rakyat, tapi semata demi pemuasan ambisi kuasa pribadi.

Ya, tatkala kekuasaan politik kemudian tak mendapatkan daulat rakyat. Bukankah yang terjadi adalah politik kosong lawan kosong. Karena dalam setiap pertarungan politik tidak ada rakyat dalam pikiranmu. Tapi yang ada adalah pikiranmu sendiri.

Rakyat pun melihat, Tuhan pergi dari pikiranmu. (*)
 

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar