DPR Masih Santai, Kasus BLBI BCA, Kwik Kian Gie Singkap Kerugian Negara Rp78 T

Politik | 19 Aug 2025 | 22:10 WIB
DPR Masih Santai, Kasus BLBI BCA, Kwik Kian Gie Singkap Kerugian Negara Rp78 T
Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum mendalami kasus ini.

Uwrite.id - Jakarta - Kasus lama kembali mencuat. Penjualan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) terkait penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tiba-tiba menjadi perbincangan hangat. Berbagai pihak, termasuk anggota DPR, didorong untuk mengusut tuntas perkara yang diduga merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah ini.

Cerita bermula dari tulisan mendiang ekonom senior Kwik Kian Gie. Dalam tulisannya berjudul Interpelasi BLBI Kasus BCA, Kwik mengurai bagaimana BCA, bank swasta terbesar di Indonesia, memiliki utang besar kepada negara.

Utang ini berasal dari dana BLBI yang diterima saat krisis moneter 1997. Ketika itu, BCA terkena rush dan pemerintah mengucurkan Rp31,99 triliun untuk menstabilkan kondisi. Sebagai gantinya, pemerintah menyita saham BCA dari keluarga Salim.

Perhitungan Aneh yang Bikin Geleng-geleng

BCA sempat mencicil utang pokok Rp8 triliun dan bunga Rp8,3 triliun. Namun, Kwik Kian Gie menjelaskan, sisa utang BLBI tetap Rp23,99 triliun. Angka ini setara dengan 92,8 persen dari nilai saham BCA saat itu. Tak berhenti di situ, untuk 'menyehatkan' bank, pemerintah menyuntikkan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) sebesar Rp60 triliun.

Dengan adanya laba bersih BCA sekitar Rp4 triliun, total uang negara di bank tersebut membengkak jadi Rp87,99 triliun. Anehnya, ketika dijual kepada Farallon pada tahun 2002, BCA hanya laku Rp10 triliun. Menurut perhitungan Kwik, ini menciptakan kerugian fantastis sebesar Rp78 triliun bagi negara.

Kelak, sekitar tahun 2007 Grup Djarum menguasai BCA sepenuhnya usai membeli 92,18 persen saham Farallon di Farindo Investment. Adapun Farindo Investment merupakan perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka dan Farallon.

Tak hanya utang BCA, Kwik juga menyoroti utang Grup Salim sebesar Rp52,7 triliun. Karena tak punya uang tunai, utang ini dibayar dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) berupa uang tunai Rp100 miliar dan 108 perusahaan.

Di sini, keanehan kembali muncul. Penilaian 108 perusahaan itu menghasilkan dua versi yang jauh berbeda. Konsorsium Danareksa-Bahana-Lehman Brothers menaksir nilainya Rp51,9 triliun, sementara Price Waterhouse Coopers (PwC) hanya menilai Rp20 triliun.

Perbedaan ini konon karena pandangan makroekonomi yang berbeda. Tapi yang jelas, pemerintah akhirnya menerima Rp20 triliun, yang berarti recovery rate-nya hanya sekitar 34 persen.

DPR Belum Mau Bergerak

Lalu bagaimana respons DPR? Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum mendalami kasus ini. 

"Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu," katanya, merujuk pada penjualan BCA oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Dasco juga menyebut Komisi III DPR belum memiliki rencana untuk mengusut perkara ini.

Senada dengan Dasco, Ketua Komisi III DPR-RI Habiburokhman juga menyatakan tidak ada jadwal pemanggilan terkait kasus ini.

"Soal perbankan adalah soal sensitif, harus sangat hati-hati kita menyikapi," ujarnya, seraya menekankan perlunya menjaga situasi agar tetap stabil.

Pernyataan dari para wakil rakyat ini, yang terkesan hati-hati dan belum bersedia mengambil langkah lebih jauh, menimbulkan pertanyaan.

Di satu sisi, ada temuan Kwik Kian Gie yang menunjukkan potensi kerugian negara yang sangat besar. Di sisi lain, para pengambil keputusan di parlemen justru terkesan santai. Ada apa di balik kasus ini, dan akankah kerugian negara ini benar-benar terungkap? 

Mantan Staf Ahli Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) DPD, Hardjuno Wiwoho, mengatakan di tengah situasi sulit hari ini, pemerintah harus fokus menghapus mata anggaran yang sangat merugikan rakyat yaitu pembayaran bunga obligasi rekap (OR) BLBI yang terus dibayar setiap tahun. Anggaran ini sangat besar, tetapi pemerintah seperti tutup mata, padahal jelas negara mensubsidi konglomerat dengan uang rakyat.

Selama 20 tahun terakhir jika dirata-rata 60 triliun rupiah bunga dibayarkan maka 1.200 triliun rupiah terbuang sia-sia hanya menguntungkan para konglomerat yang kemudian menguasai ekonomi hajat hidup orang banyak. 

"Cek saja itu importir gandum siapa? Penerima BLBI dan obligasi rekap juga. Jangan yang diributin soal efisiensi rapat lagi. Dilarang rapat di hotel lagi, sudah basi itu," tandas Hardjuno. Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, sepakat moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI perlu dilakukan. 

"Sudah saatnya melakukan moratorium subsidi pembayaran bunga obligasi rekap BLBI, hal ini sangat penting untuk memenuhi rasa keadilan rakyat," kata Badiul.

Apalagi, kondisi APBN saat ini sedang tidak sehat yang ditunjukan oleh kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM yang diperuntukkan bagi masyarakat. "Jika pemerintah berani mengurangi subsidi BBM dan harus menghadapi ratusan juta rakyat, semestinya pemerintah juga berani melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI karena hanya kepada segelintir konglomerat. Sudah cukup, 23 tahun pemerintah membayar utang obligasi rekap BLBI," kata Badiul.

Menghadapi ancaman resesi global menjelang 2027, moratorium pembayaran utang obligasi rekap menjadi pilihan yang bijak untuk menyehatkan keuangan negara, sehingga mempunyai ketahanan. (*)

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar