Dendi Sumi: Tak Cukup 1 Koalisi untuk Mengubah Peta Nasional
Uwrite.id - Fenomena dewasa ini menunjukkan adanya peran sentral dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang kemunculannya mengubah peta ranking perolehan suara nasional. Pada awalnya, publik mengira bahwa harapan untuk mengubah komposisi pemenang pemilu di negara Indonesia bisa dikatakan tidak ada.
Semua berpikir PDIP akan menjadi juara pileg dan (selalu) teratas. Akhir-akhir ini kejutan muncul dengan hasil survei Voxpol Center yang menempatkan Partai Gerindra sebagai pemenang mutlak (simulasi) pemilu.
Dalam beberapa cerita di belakang layar, memang terdapat kegeraman Prabowo Subianto sebelum nama beliau naik daun pasca penyatuan 4 partai politik parlemen menjadi satu biduk koalisi tersebut, ulas Dendi Sumirat, ahli parapsikologi sekaligus enthusiast politik yang dikunjungi kolumnis tetap Uwrite.id hari ini, (16/08) di Jakarta Selatan.
Prabowo pernah merasa dikangkangi dan ditinggalkan akibat janji-janji palsu untuk menjadikan dirinya bakal calon presiden yang didukung penuh pemerintahan yang bekerja sekarang saat di bulan Desember 2012 lalu, ungkap sosok yang juga kerap dipanggil Dendi Sumi ini.
Hal ini didorong oleh pernyataan di Gelora Bung Karno saat Musra tahap akhir di mana muncul tagline 'pilih yang berambut putih' dan kutipan-kutipan keberpihakan eksplisit tersebut muncul mewarnai pemberitaan nasional dan media sosial selama kurang lebih 4 minggu berikutnya, kata Dendi Sumirat kembali.
Namun, seorang pribadi Prabowo Subianto yang pemaaf dan tulus mengabdikan diri kepada negara, tidak serta-merta menjadikan dirinya bersikap emosional. Prabowo yang sekarang terasa berbeda dengan Prabowo yang dulu, ujar Dendi.
Dalam forum tertutup di internal orang-orang terdekatnya, Prabowo baru mengekspresikan bahwa dirinya bersumpah di atas segala-gala sumpah yang pernah diikrarkannya, bahwa ia akan bekerja sepenuh tenaga bersama motor penggerak Partai Gerindra dan organ-organ sayap untuk membalikkan apa yang seolah-olah sudah menjadi kenyataan menyakitkan dirinya itu, dan memenangkan Pemilu 2024. Hal tersebut diceritakan Dendi Sumirat sembari menyantap sup kental beraroma bawang bersama kolumnis tetap Uwrite.id di tengah udara malam yang terkesan magis karena banyak masyarakat yang melakukan tirakat menjelang hari kemerdekaan nasional.
Dendi Sumirat kembali menceritakan mundur ke belakang di saat-saat awal sekali Anies Baswedan muncul ke permukaan diusung oleh Partai Nasdem, harapan serta ekspektasi masyarakat tertumpu keseluruhan kepada Anies, dan Anies dianggap sepenuhnya mampu mengubah peta nasional, yang selama ini cenderung didominasi oleh satu partai tertentu yang menjadi pemenang di setiap pemilu legislatif.
Kemudian sosok Anies yang dipuja-puja rakyat bawah dalam setiap lawatan ke berbagai daerah tersebut mendorong dua partai politik tambahan masuk ke dalam satu koalisi bentukan, yang pada akhirnya diberi nama Koalisi Perubahan untuk Persatuan, lanjut sosok yang juga menggemari mie bakso ini.
Kendati bukan merupakan wacana resmi koalisi, namun literasi yang terkemas dalam isu-isu menumbangkan dominasi partai politik yang senantiasa menjuarai pemilihan umum itu juga menelusup ke dialektika yang berkembang pasca optimisme publik dengan kemunculan satu koalisi harapan ini, urai Dendi Sumirat.
Akan halnya Anies sendirian berupaya mencoba membalik dominasi nasional tersebut, Dendi Sumirat menyebutkan dia tidak cukup kuat untuk merealisasikannya dengan kekuatan dan soliditas yang ia punyai, imbuh Dendi menambahkan perspektifnya.
Maka, Dendi Sumirat berpendapat bahwa diperlukan sekurang-kurangnya dua koalisi yang bekerja secara simultan di akar rumput pemilih, untuk bisa membalikkan arogansi dan dominansi yang justru mematikan suasana perikehidupan kerakyatan di bumi Pancasila, Indonesia itu. Dalam konteks Pilpres 2024, dua koalisi itu mencakup KKIR dan KKP sekaligus.
"Tidak cukup satu koalisi untuk mengubah peta nasional," ulas Dendi lagi.
Ketika orang Anies, demikian Dendi sebut, yaitu mantan menteri ESDM Sudirman Said berjuang mengubah peta Jawa Tengah di Pilkada 2018 lalu, yang selama ini dikatakan orang sebagai kandang banteng itu, menjadi berubah dan tidak lagi dominan merah, perjuangan itu tidak mudah dan penuh dengan romantika yang sunyi dari sorotan media massa. "Kendati upaya demerahisasi berhasil di sejumlah kantong pemilihan seperti Kebumen, Purbalingga, sebagian Blora, paling tidak apa yang telah dilakukan Sudirman Said, membuktikan bahwa tidak ada yang boleh absolut di negeri ini," pungkas pria penghobi motor sport ini. (*)
Tulis Komentar