Danyang Gunung Sewu Masih Ada: Tapi Bukan Seperti yang Kamu Bayangkan

Uwrite.id - Di balik tebing-tebing karst dan lorong-lorong gua Gunung Sewu yang membentang dari Pacitan, Wonogiri, hingga Gunungkidul, tersembunyi kekuatan yang tak selalu tampak oleh mata, namun hidup di tengah masyarakat. Bukan kekuatan gaib seperti dalam kisah horor, melainkan kekuatan spiritual yang berpijak pada nilai-nilai luhur. Mereka disebut danyang.
Selama ini, danyang kerap dipahami secara sempit sebagai penunggu tempat keramat—seolah tak lebih dari hantu lokal. Namun jika ditelusuri dari akar katanya, istilah “danyang” berasal dari “Dzat Hyang”: “Dzat” berarti zat atau substansi, dan “Hyang” merujuk pada Hyang Agung atau Gusti Allah. Maka, Dzat Hyang adalah pancaran dari Yang Maha Kuasa, yang dihadirkan untuk menjaga keseimbangan dan memberikan kehidupan bagi suatu wilayah. Dalam lidah orang Jawa, istilah ini kemudian mengalami pelesapan fonetik dan berubah menjadi danyang.
Dengan pemahaman ini, danyang bukanlah makhluk menyeramkan, melainkan wujud kehadiran ilahiah di alam—diwakili oleh manusia-manusia yang menjaga dan merawat bumi. Di Gunung Sewu, mereka hadir sebagai petani yang sabar mengolah tanah karst yang keras; aktivis yang bersuara lantang melawan perusakan lingkungan dengan data dan fakta; pemuda yang mencintai gua-gua purba; anak-anak desa yang membuat film dokumenter tentang karst dan sumber air bawah tanah; guru yang memasukkan isu lingkungan ke dalam pelajaran; hingga ibu-ibu yang menolak limbah masuk ke kampungnya.
Danyang Gunung Sewu tak kasat mata bukan karena mereka makhluk gaib, tetapi karena mereka sering luput dari perhatian. Tak ada panggung bagi petani yang menolak menjual tanahnya ke perusahaan tambang. Tak ada berita utama tentang pemuda desa atau komunitas yang menanam pohon beringin untuk menjaga air. Namun, merekalah representasi sejati dari Dzat Hyang—penjaga kehidupan dan kelestarian alam. Bukan dengan mantra, melainkan dengan kesadaran, kerja keras, ilmu pengetahuan, dan cinta terhadap bumi.
Gunung Sewu sendiri adalah bentang alam unik. Sebagai kawasan karst tropis terbesar di Asia Tenggara, wilayah ini menyimpan kekayaan hayati, geologi, dan budaya yang luar biasa. Karst Gunung Sewu bukan hanya indah, tapi juga berperan vital sebagai penyimpan air, pengatur iklim mikro, dan rumah bagi flora-fauna endemik. Sayangnya, kawasan ini terus terancam oleh ekspansi tambang semen dan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Di tengah ancaman itulah para danyang Gunung Sewu berdiri. Mereka bukan dewa, bukan orang-orang suci. Mereka manusia biasa yang sadar bahwa menjaga tanah berarti menjaga keberlangsungan hidup. Bahwa merusak karst bukan hanya kerugian ekologis, tapi juga kehilangan spiritual.
Jika danyang dimaknai sebagai “zat yang diutus Gusti Allah” untuk menjaga suatu wilayah, maka siapa pun yang berjuang melindungi alam sejatinya sedang menjalankan tugas spiritual. Menjadi danyang bukan karena ditunjuk, tapi karena terpanggil.
Karena itu, kita perlu membedakan antara danyang dan setan. Danyang adalah bagian dari manusia yang menyatu dengan alam—jiwa penjaga yang bekerja dalam diam, mewakili Sang Pencipta dalam wujud nyata.
Dan danyang Gunung Sewu bukanlah setan. Mereka adalah para penjaga air, tanah, gunung, dan langit. Para danyang yang masih hidup, dan terus melawan ketika tanah karst—ruang hidup kita—terancam dirusak.
Tulis Komentar