CERI: Presiden Harus Evaluasi Posisi Rosan dan Donny Oskaria serta Pandu Syahrir di CEO, COO dan CIO Danantara

Uwrite.id - Jakarta – Mengingat posisi strategis BPI Danantara sebagai pengelola usaha milik negara bernilai ribuan triliun, sudah seharusnya Presiden Prabowo Subianto memilih dan menentukan sosok sebagai CEO (Chief Executive Officer) dan COO (Chief Operating Officer) serta CIO (Chief Investment Officer) yang punya rekam jejak baik dan tidak tersangkut kasus kerugian uang negara sebelumnya.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Rabu (03/09).
“Hal tersebut sesuai komitmen presiden di berbagai kesempatan, terkhusus pada pidato kenegaraan presiden pada pengantar APBN tahun 2025 di depan DPR RI pada 15 Agustus 2025 yang akan memerangi korupsi, siapapun backing-nya,” ungkap Yusri.
Dikatakan Yusri, nama Rosan Perkasa Roeslani terungkap sebagai pendiri PT Recapital Asset Management (RAM) baru-baru ini, yang diduga terkait dalam dakwaan kasus korupsi pengelolaan dana investasi PT ASABRI dengan kerugian negara Rp 22,78 triliun yang resmi mulai digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Jumat, 29 Agustus 2025 lalu.
“Begitu juga dengan sosok Dony Oskaria yang saat ini menjabat sebagai COO BPI Danantara, sebelumnya diduga ikut tersangkut dalam kasus korupsi pengadaan pesawat Garuda Indonesia dan kasus lainnya,” ungkap Yusri.
Selain itu, lanjut Yusri, keponakan Luhut Binsar Panjaitan yaitu Pandu Syahrir yang saat ini menjabat CIO Danantara, sebelumnya adalah menjabat sebagai komisaris di Gojek sejak April 2017 dan setelah merger Gojek dengan Tokopedia membentuk GoTo, Pandu duduk sebagai Komisaris Utama di GoTo Financial sejak tahun 2021.
“Seperti terungkapnya kasus korupsi laptop chromebook pada Kemendikbudristek di berbagai media, sejak Juni 2025, Kejaksaan Agung menduga ada kerugian negara berkisar Rp 9,3 triliun hingga Rp 9,9 triliun yang diduga adanya keterlibatan perusahan Goto,” beber Yusri.
Yusri menegaskan, jika merujuk rekam jejak CEO, COO dan CIO BPI Danantara yang berkelindan dalam dugaan korupsi sebelumnya, terlepas apakah terbukti terlibat atau tidak di kemudian hari dengan berbagai cara yang sangat mungkin dilakukan dalam mempengaruhi penegak hukum kita, maka sangatlah pantas publik mencurigai proses rekrutmen dan penunjukan anggota Direksi dan Komisaris PT Pertamina Group, PT PLN Group, PT Telkom Group dan anak usaha BUMN lainnya berpotensi terjadi suap menyuap dalam jumlah fantastis.
“Sebab, tersangkut nama-nama mereka dalam warisan kasus hukum sebelumnya, sudah tentu membutuhkan kesiapan moril dan materil tak sedikit untuk bisa lolos dari jeratan hukum, atau bisa dijadikan ATM oleh oknum APH sepanjang menjabat,” sergah Yusri.
Oleh karena itu, kata Yusri, untuk menghindari dampak lebih buruk terhadap penentuan calon direksi BUMN ke depan, sebaiknya Presiden segera mengganti CEO, COO dan CIO BPI Danantara terlebih dahulu dengan sosok yang memiliki rekam jejak yang baik.
“Maka dari itu, kami berharap Presiden segera mengganti CEO, COO dan CIO BPI Danantara segera mungkin dengan sosok yang jauh lebih kredibel dan amanah. Jika tidak, jangan heran jika di tahun 2028 dan 2029 akan terjadi penjarahan besar-besaran uang BUMN untuk kepentingan konstetasi politik nasional,” ungkap Yusri.
CERI Menolak Danantara Suntik Kerugian Kereta Cepat Whoosh
Sementara itu, Yusri mengatakan, akibat kebijakan ugal-ugalan mantan Presiden Joko Widodo dengan Luhut Binsar Panjaitan memaksa membangun kereta cepat Whossh Jakarta Bandung yang dikelola oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang merupakan anak usaha PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang mengalami kerugian hingga akhir Desember 2024 sekitar Rp 2,69 triliun dan Rp 1 triliun pada semester 1 tahun 2025, seharusnya tidak dibebankan ke BPI Danantara.
“Lantaran Presiden Jokowi dengan pembantunya kala itu menegaskan KCJB tak akan menggunakan uang APBN sepeser pun karena menggunakan skema business to business dan memberikan jaminan pembayaran ke kreditur China, namun faktanya dia langgar sendiri,” terang Yusri.
Sebelumnya, kata Yusri, Ignatius Jonan pada 1 Februari 2016, selaku Menteri Perhubungan saat itu enggan menerbitkan izin sebelum seluruh aturan dipenuhi.
“Lantaran menurut Jonan saat itu, ketentuan UU nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Peraturan Menteri Perhubungan yang mengikutinya, belum dipenuhi untuk proyek kereta cepat itu,” ungkap Yusri.
Yusri memaparkan, tujuan dibentuknya Danantara adalah untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional dengan membiayai proyek strategis nasional membangun infrastruktur strategis, seperti infrastruktur migas, hilirisasi dan energi baru terbarukan serta ketahanan pangan nasional, bukan untuk warisan proyek ugal-ugalan Jokowi dan Luhut.
“Biar mereka suruh tanggung jawab menyelesaikan kerugian itu yang dulu mengaku hebat kali yang menentang adalah goblok, lantaran sejak awal proyek tersebut sudah ditentang banyak orang,” kata Yusri.
Yusri mengatakan, Dirut KAI, Bobby Rasyidin di hadapan Komisi VI DPR RI pada 20 Agustus 2025 lalu telah mengungkapkan bahwa utang dan kerugian sebesar USD 7,2 miliar atau sekitar Rp 117,72 triliun (kurs Rp 16.350). Dari jumlah tersebut, sebesar USD 1,2 miliar atau Rp 19,62 triliun merupakan pembengkakan biaya atau cost overrun.
Adapun pemegang saham 60% PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 38%, PT KAI 25%, PTPN VIII 25 % dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk 12 %, sisanya 40 % oleh konsorsium China.(*)
Tulis Komentar