Bulan Suro Bulan Duka Cita Bagi Masyarakat Jawa, Budaya Jawa Melarang Menggelar Acara Pesta

Budaya | 20 Jul 2023 | 02:14 WIB
Bulan Suro Bulan Duka Cita Bagi Masyarakat Jawa, Budaya Jawa Melarang Menggelar Acara Pesta
Gambar Ilustrasi.

Uwrite.id - Sebagai umat Islam di Jawa, bulan Suro, juga dikenal sebagai Asyura atau Muharram, merupakan bulan yang sarat dengan duka cita. Bulan tersebut memiliki makna yang mendalam bagi umat Muslim, karena dipercaya bahwa dalam bulan Suro pernah terjadi tragedi besar yang mengakibatkan kematian cucu Rasulullah. Oleh karena itu, budaya Jawa melarang segala bentuk perayaan atau pesta pada bulan ini, termasuk pernikahan, sunatan, dan acara-acara sukacita lainnya sebagai bentuk penghormatan.

Untuk memahami mengapa bulan Suro dianggap sebagai bulan duka cita bagi umat Islam Jawa, kita harus menjelajahi sejarah yang berkaitan dengan peristiwa tragis ini. Bulan Suro secara harfiah berarti "bulan pahit" atau "bulan duka" dalam bahasa Jawa. Pada saat yang sama, bulan ini juga merupakan bulan pertama dalam kalender Islam, Muharram.

Peristiwa penting yang memberikan bulan Suro makna kedukaan ini terjadi pada masa kekhalifahan Umayyah di Kekhalifahan Islam. Pada tanggal 10 Muharram, umat Islam mengenang tragedi Karbala yang melibatkan cucu-cucu Nabi Muhammad, terutama cucu beliau yang bernama Husain bin Ali.

Pada tahun 680 M, Husain bin Ali dan para pengikutnya yang setia melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang zalim di bawah pimpinan Yazid bin Muawiyah. Mereka terjebak dalam pertempuran yang tidak adil di wilayah Karbala, Irak. Pasukan Yazid yang jauh lebih besar dan kuat menghadapi pasukan Husain yang kecil. Husain dan sejumlah besar pengikutnya, termasuk keluarga dan sahabatnya, akhirnya terbunuh dalam pertempuran yang sengit tersebut.

Peristiwa tragedi Karbala ini menyisakan luka mendalam di hati umat Islam, termasuk umat Islam Jawa. Pada bulan Suro, umat Muslim Jawa merenungkan pengorbanan dan keberanian Husain bin Ali dalam membela keadilan dan kebenaran. Mereka juga merenungkan kekejaman dan kesewenang-wenangan yang dialami oleh cucu-cucu Rasulullah dan pengikut setia mereka.

Sebagai bentuk penghormatan dan kesedihan, umat Islam Jawa memilih untuk tidak merayakan acara-acara sukacita selama bulan Suro. Ini termasuk melarang pernikahan, sunatan, dan perayaan lain yang biasanya meriah. Sebaliknya, mereka lebih cenderung melaksanakan ibadah dan refleksi spiritual dalam bentuk ziarah ke makam atau mengadakan majelis taklim untuk membaca dan mempelajari kisah-kisah heroik dari tragedi Karbala.

Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun di masyarakat Jawa, dengan tujuan untuk menjaga penghormatan dan kenangan terhadap para syuhada Karbala yang berjuang demi kebenaran. Bulan Suro menjadi waktu yang dianggap suci dan berharga untuk mengenang peristiwa bersejarah ini serta memperdalam pemahaman akan nilai-nilai keadilan, keberanian, dan kesetiaan terhadap kebenaran.

Melalui pelarangan pesta dan perayaan, umat Islam Jawa berusaha menanamkan semangat pengorbanan dan keikhlasan yang diperlihatkan oleh Husain bin Ali dan para pengikutnya dalam mempertahankan kebenaran. Mereka mengambil inspirasi dari kisah heroik tersebut untuk mendorong pengembangan moral dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

Bulan Suro, dengan seluruh kekhidmatannya, mengingatkan umat Islam Jawa tentang arti penting kesabaran, keadilan, dan integritas dalam menghadapi tantangan hidup. Ini adalah momen yang dianggap sebagai kesempatan untuk melibatkan diri dalam introspeksi pribadi, meningkatkan pemahaman agama, dan memupuk nilai-nilai yang lebih tinggi.

Sebagai umat Muslim Jawa, bulan Suro merupakan warisan berharga yang mengikat mereka dengan sejarah panjang dan nilai-nilai agama yang dalam. Dalam bulan ini, mereka mengenang perjuangan dan pengorbanan para syuhada Karbala, dan melalui penghayatan tersebut, mereka menghormati warisan moral dan spiritual yang telah diberikan kepada mereka.

Bulan Suro bukan hanya sekadar bulan duka cita, tetapi juga waktu penghormatan dan refleksi yang mengilhami umat Islam Jawa untuk hidup dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan ketabahan. Dengan menjaga tradisi ini, mereka meneruskan warisan sejarah yang berharga dan menjalin ikatan yang kuat dengan perjuangan para pahlawan masa lalu.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar