Bulan Suro Bukan Ajang Mencari Kesaktian: Saatnya Kembali ke Makna yang Mencerahkan

Budaya | 12 Jun 2025 | 18:59 WIB
Bulan Suro Bukan Ajang Mencari Kesaktian: Saatnya Kembali ke Makna yang Mencerahkan

Uwrite.id - Dalam khazanah budaya Jawa, khususnya sejak masa kejayaan Mataram Islam, bulan Suro—atau Azhura dalam kalender Hijriyah—bukanlah sekadar pergantian bulan, tetapi momentum batin yang penuh makna. Ia dikenang sebagai bulan duka, bulan perenungan, dan bulan spiritualitas yang mendalam.

Makna ini berakar dari tragedi Karbala, ketika Sayyidina Husein, cucu Kanjeng Nabi Muhammad SAW, gugur dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Peristiwa itu bukan sekadar catatan sejarah Islam, melainkan simbol keteguhan moral dan keberanian hati. Para leluhur kita, terutama dalam tradisi Mataram Islam, memaknainya sebagai ajakan untuk menunduk, bukan membusungkan dada; untuk diam, bukan berpesta pora.

Itulah mengapa bulan Suro dijadikan waktu untuk lelaku—tirakat, menyepi, dan menyucikan batin. Bukan waktu untuk mengadakan pesta, bukan saatnya mengejar gemerlap dunia. Ada kesadaran kolektif untuk menjadikan Suro sebagai ruang batin, bukan panggung pertunjukan.

Namun, semakin ke sini, makna luhur ini mulai tergerus. Bulan Suro yang seharusnya menjadi waktu kontemplasi malah digeser menjadi ajang pencarian kesaktian, ilmu kebal, hingga ritual supranatural yang penuh dengan mitos dan syarat-syarat aneh. Dalam banyak kasus, praktik-praktik ini tidak hanya menjauh dari nilai spiritual, tapi juga berpotensi menjerumuskan pada perilaku irasional yang mengaburkan ajaran Islam dan tradisi Jawa yang sesungguhnya.

Yang lebih menyedihkan, semua ini sering dibungkus dengan label “melestarikan budaya”. Padahal yang terjadi adalah penyesatan tafsir budaya. Tradisi hanya dijadikan bungkus, sementara isinya kosong dari nilai-nilai luhur. Warisan spiritual leluhur kita dicemari oleh tafsir keliru yang mengaburkan arah peradaban.

Mari kita bertanya jujur:
Apakah mencari kesaktian, pamer ritual gaib, dan menantang dunia tak kasat mata benar-benar ajaran leluhur kita?
Apakah itu benar warisan Mataram Islam yang sangat menjunjung tinggi ketundukan, doa, dan kesadaran diri?

Tentu tidak.

Leluhur kita menjalani Suro bukan untuk menjadi sakti, tapi untuk menjadi bersih hatinya. Mereka tidak berburu kekuatan, tapi mencari ketenangan. Mereka tidak ramai-ramai naik gunung atau mandi di tujuh mata air untuk “kebal”, tapi memilih diam dalam laku prihatin agar jiwanya kuat menghadapi hidup.

Inilah saatnya kita kembali membaca ulang makna bulan Suro. Kritis terhadap warisan budaya bukan berarti menolak budaya, tetapi menjaga agar warisan itu tidak terdistorsi oleh tafsir yang keliru. Inspirasi sejati dari Suro bukan terletak pada mistik, tetapi pada keheningan yang membebaskan jiwa dari belenggu kesombongan.

Suro bukan bulan klenik.
Ia adalah cermin kejujuran batin.
Bukan tentang menjadi kuat di luar, tetapi menjadi jernih di dalam.

Mari kita rawat kembali makna Suro sebagai ruang perenungan dan penguatan spiritual. Karena dalam diam yang hening, terkadang kita menemukan suara kebenaran yang paling nyaring: suara dari dalam diri sendiri.

Makna Membersihkan Pusaka di Bulan Suro dalam Tradisi Jawa

Selain itu, bagi masyarakat Jawa, bulan Suro bukan hanya bulan duka dan perenungan, tetapi juga momen sakral untuk melakukan ritual penyucian pusaka. Tradisi ini biasa disebut "jamasan pusaka". Namun, penting dipahami bahwa membersihkan pusaka bukan semata-mata soal merawat benda warisan, tapi ada nilai-nilai filosofis yang dalam di baliknya.

1. Simbol Pembersihan Diri

Pusaka dalam budaya Jawa tidak hanya dipandang sebagai benda mati, tapi juga simbol kekuatan, tanggung jawab, dan warisan nilai-nilai leluhur. Dengan membersihkannya di bulan Suro, masyarakat sebetulnya sedang melakukan refleksi dan penyucian batin. Sebagaimana pusaka dibersihkan dari karat dan debu, manusia juga diajak untuk membersihkan dirinya dari nafsu, iri, dan kesombongan.

2. Bentuk Penghormatan pada Leluhur

Pusaka sering kali diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan menjamasnya di bulan yang sakral, masyarakat memberi penghormatan kepada leluhur. Ini bukan pemujaan benda, melainkan bentuk penghargaan terhadap sejarah dan nilai-nilai yang dibawa oleh pusaka tersebut.

3. Bagian dari Lelaku dan Kontemplasi

Ritual jamasan tidak dilakukan sembarangan. Ada doa, puasa, dan laku tertentu yang menyertainya. Ini semua menjadi bagian dari lelaku—jalan spiritual untuk menata batin. Bulan Suro adalah waktu yang dianggap paling tepat untuk itu, karena nuansanya yang hening dan mendalam.

4. Peringatan akan Fana-nya Dunia

Air, bunga, dan doa dalam ritual jamasan juga mengingatkan bahwa segala sesuatu di dunia ini pada akhirnya akan kembali kepada asalnya. Pusaka, sehebat apapun, tetap harus dirawat dan dibersihkan. Begitu pula manusia, sekuat apapun, tetap harus menjaga hati dan rendah diri.

Jamasan pusaka di bulan Suro bukan tentang kesaktian, tapi tentang kesadaran. Bukan tentang benda, tapi tentang makna di baliknya. Ia mengajarkan kita bahwa merawat warisan bukan hanya soal benda, tapi juga nilai, akhlak, dan kesadaran akan diri.

Karena sejatinya, pusaka yang paling berharga bukan keris atau tombak, tapi hati yang bersih dan pikiran yang jernih.

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar