Bulan Suro Bukan Ajang Mencari Kesaktian: Saatnya Kembali ke Makna yang Mencerahkan

Uwrite.id - Dalam khazanah budaya Jawa, khususnya sejak masa kejayaan Mataram Islam, bulan Suro—atau Azhura dalam kalender Hijriyah—bukanlah sekadar pergantian bulan, tetapi momentum batin yang penuh makna. Ia dikenang sebagai bulan duka, bulan perenungan, dan bulan spiritualitas yang mendalam.
Makna ini berakar dari tragedi Karbala, ketika Sayyidina Husein, cucu Kanjeng Nabi Muhammad SAW, gugur dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Peristiwa itu bukan sekadar catatan sejarah Islam, melainkan simbol keteguhan moral dan keberanian hati. Para leluhur kita, terutama dalam tradisi Mataram Islam, memaknainya sebagai ajakan untuk menunduk, bukan membusungkan dada; untuk diam, bukan berpesta pora.
Itulah mengapa bulan Suro dijadikan waktu untuk lelaku—tirakat, menyepi, dan menyucikan batin. Bukan waktu untuk mengadakan pesta, bukan saatnya mengejar gemerlap dunia. Ada kesadaran kolektif untuk menjadikan Suro sebagai ruang batin, bukan panggung pertunjukan.
Namun, semakin ke sini, makna luhur ini mulai tergerus. Bulan Suro yang seharusnya menjadi waktu kontemplasi malah digeser menjadi ajang pencarian kesaktian, ilmu kebal, hingga ritual supranatural yang penuh dengan mitos dan syarat-syarat aneh. Dalam banyak kasus, praktik-praktik ini tidak hanya menjauh dari nilai spiritual, tapi juga berpotensi menjerumuskan pada perilaku irasional yang mengaburkan ajaran Islam dan tradisi Jawa yang sesungguhnya.
Yang lebih menyedihkan, semua ini sering dibungkus dengan label “melestarikan budaya”. Padahal yang terjadi adalah penyesatan tafsir budaya. Tradisi hanya dijadikan bungkus, sementara isinya kosong dari nilai-nilai luhur. Warisan spiritual leluhur kita dicemari oleh tafsir keliru yang mengaburkan arah peradaban.
Mari kita bertanya jujur:
Apakah mencari kesaktian, pamer ritual gaib, dan menantang dunia tak kasat mata benar-benar ajaran leluhur kita?
Apakah itu benar warisan Mataram Islam yang sangat menjunjung tinggi ketundukan, doa, dan kesadaran diri?
Tentu tidak.
Leluhur kita menjalani Suro bukan untuk menjadi sakti, tapi untuk menjadi bersih hatinya. Mereka tidak berburu kekuatan, tapi mencari ketenangan. Mereka tidak ramai-ramai naik gunung atau mandi di tujuh mata air untuk “kebal”, tapi memilih diam dalam laku prihatin agar jiwanya kuat menghadapi hidup.
Inilah saatnya kita kembali membaca ulang makna bulan Suro. Kritis terhadap warisan budaya bukan berarti menolak budaya, tetapi menjaga agar warisan itu tidak terdistorsi oleh tafsir yang keliru. Inspirasi sejati dari Suro bukan terletak pada mistik, tetapi pada keheningan yang membebaskan jiwa dari belenggu kesombongan.
Suro bukan bulan klenik.
Ia adalah cermin kejujuran batin.
Bukan tentang menjadi kuat di luar, tetapi menjadi jernih di dalam.
Mari kita rawat kembali makna Suro sebagai ruang perenungan dan penguatan spiritual. Karena dalam diam yang hening, terkadang kita menemukan suara kebenaran yang paling nyaring: suara dari dalam diri sendiri.
Tulis Komentar