Berbahayakah Konsumsi Serangga untuk Asupan Anak Usia Sekolah, Strategi Siasati MBG Atasi Defisit Sumber Protein

Kuliner | 27 Jan 2025 | 23:30 WIB
Berbahayakah Konsumsi Serangga untuk Asupan Anak Usia Sekolah, Strategi Siasati MBG Atasi Defisit Sumber Protein
Salah satu keunggulan utama serangga adalah tingkat konversi pakan yang tinggi yang mengacu pada efisiensi serangga dalam mengubah pakan menjadi massa tubuh.

Uwrite.id - Gunungkidul - Selain efisiensi pakan, serangga menawarkan keunggulan lingkungan yang signifikan. Budidaya serangga dapat dilakukan di dalam ruangan dengan penggunaan lahan yang minimal, sehingga mengurangi deforestasi dan degradasi lahan yang seringkali terkait dengan peternakan konvensional. Kebutuhan air untuk budidaya serangga juga jauh lebih rendah dibandingkan ternak besar. Misalnya, produksi 1 kg daging sapi membutuhkan sekitar 15.000 liter air, sedangkan produksi 1 kg serangga hanya membutuhkan sekitar 1-2 liter air. Lebih lanjut, serangga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan ternak konvensional. Produksi 1 kg daging sapi menghasilkan sekitar 60 kg setara karbon dioksida, sedangkan produksi 1 kg serangga hanya menghasilkan sekitar 1 kg setara karbon dioksida. Hal ini menjadikan serangga sebagai pilihan protein yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Di Indonesia sendiri, terdapat beragam hidangan tradisional yang berbahan dasar serangga. Sate ulat sagu, misalnya, merupakan makanan khas Papua yang terbuat dari ulat sagu yang gemuk dan kaya protein. Belalang goreng, yang populer di Gunungkidul, Yogyakarta, memiliki cita rasa gurih dan renyah. Rempeyek laron, yang terbuat dari larva rayap, merupakan camilan unik yang sering muncul saat musim hujan. Botok tawon, yang berisi larva lebah madu, adalah hidangan khas Jawa Timur yang menawarkan rasa gurih dan sedikit manis. Jangkrik goreng, yang populer di Ciamis, Jawa Barat, dimasak dengan bumbu balado yang pedas dan gurih. Selain itu, ada juga sayok, hidangan khas Sulawesi Utara yang terbuat dari larva capung yang ditangkap di danau-danau.

Di Meksiko, tradisi entomofagi telah ada sejak zaman pra-Hispanik. Escamoles, atau larva semut, dianggap sebagai makanan lezat yang langka dan mahal. Larva semut ini memiliki rasa mentega yang lembut dan sering dijadikan hidangan mewah di restoran-restoran kelas atas. Selain escamoles, chapulines (belalang) juga merupakan camilan populer yang dibumbui dengan cabai dan jeruk nipis.

Selain manfaat lingkungan, budidaya serangga juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Serangga dapat diternakkan dengan modal yang relatif rendah dan teknologi yang sederhana, sehingga membuka peluang usaha bagi masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan yang memiliki akses terbatas terhadap lahan atau sumber daya untuk beternak hewan besar. Budidaya serangga dapat memberikan sumber pendapatan tambahan bagi petani kecil, meningkatkan ketahanan pangan lokal, dan mengurangi ketergantungan pada impor protein. Selain itu, produk sampingan dari budidaya serangga, seperti kitin dan pupuk organik, juga memiliki nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri dan pertanian.

Profil Nutrisi Serangga

Serangga tidak hanya menawarkan sumber protein yang berkelanjutan, tetapi juga memiliki profil nutrisi yang kaya dan beragam, menjadikannya alternatif pangan yang menarik dan menyehatkan. Serangga kaya akan protein berkualitas tinggi, yang merupakan makronutrien penting bagi pertumbuhan, perbaikan jaringan tubuh, dan fungsi fisiologis lainnya. Kandungan protein serangga bervariasi tergantung pada spesies dan tahap perkembangannya, namun secara umum, serangga mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging hewan konvensional. Sebagai contoh, 100 gram jangkrik kering mengandung sekitar 65-70% protein, sedangkan 100 gram daging sapi tanpa lemak hanya mengandung sekitar 25-30% protein.

Selain protein, serangga juga mengandung berbagai nutrisi esensial lainnya yang penting bagi kesehatan manusia. Serangga merupakan sumber asam lemak tak jenuh yang baik, seperti omega-3 dan omega-6, yang berperan dalam menjaga kesehatan jantung, otak, dan sistem saraf. Asam lemak omega-3, khususnya, telah terbukti memiliki efek anti-inflamasi dan dapat membantu mengurangi risiko penyakit jantung koroner, stroke, dan beberapa jenis kanker. Serangga juga mengandung vitamin dan mineral penting, seperti vitamin B12, riboflavin (vitamin B2), zat besi, dan seng. Vitamin B12 penting untuk pembentukan sel darah merah dan fungsi saraf, sedangkan riboflavin berperan dalam metabolisme energi dan kesehatan kulit. Zat besi diperlukan untuk transportasi oksigen dalam darah, sedangkan seng berperan dalam fungsi kekebalan tubuh dan penyembuhan luka.

Selain makronutrien dan mikronutrien, serangga juga mengandung kitin, komponen utama eksoskeleton serangga yang merupakan jenis serat tidak larut. Meskipun kitin tidak dapat dicerna oleh manusia, namun ia berperan sebagai prebiotik yang mendukung pertumbuhan bakteri baik di usus, sehingga berkontribusi pada kesehatan pencernaan dan sistem kekebalan tubuh. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kitin memiliki potensi sebagai antioksidan dan anti-inflamasi.

Meskipun serangga sering diolah dengan cara digoreng, yang dapat mengurangi nilai nutrisinya dan meningkatkan kandungan lemak jenuh, ada berbagai metode memasak yang lebih sehat untuk mempertahankan kandungan nutrisi serangga. Memanggang, membakar, atau menumis serangga dengan sedikit minyak adalah beberapa alternatif yang dapat menjaga kandungan protein, vitamin, mineral, dan asam lemak serangga tetap optimal. Selain itu, serangga juga dapat diolah menjadi tepung atau bubuk yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam berbagai produk pangan, seperti roti, kue, pasta, atau smoothies, untuk meningkatkan kandungan protein dan nutrisi lainnya.

Singapura telah mengambil langkah progresif dengan menyetujui 16 spesies serangga sebagai bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi manusia. Keputusan ini diambil oleh Singapore Food Agency (SFA) setelah melalui serangkaian penelitian dan evaluasi ilmiah yang ketat selama bertahun-tahun. Spesies-spesies yang disetujui telah terbukti secara ilmiah memiliki profil nutrisi yang baik dan aman dikonsumsi berdasarkan standar keamanan pangan internasional. Langkah ini sejalan dengan upaya Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk mempromosikan konsumsi serangga sebagai sumber protein yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan dapat menjadi solusi potensial bagi tantangan ketahanan pangan global.

Regulasi dan Inovasi Kuliner Serangga

Singapore Food Agency (SFA) tidak hanya menyetujui serangga sebagai bahan pangan, tetapi juga telah merilis pedoman rinci tentang budidaya, pengolahan, dan pelabelan produk serangga untuk memastikan keamanan dan kualitasnya bagi konsumen. Spesies yang telah mendapatkan lampu hijau dari SFA meliputi berbagai tahap pertumbuhan, termasuk jangkrik (Gryllidae), belalang (Caelifera), larva ngengat (Lepidoptera), dan bahkan lebah madu (Apis mellifera). Serangga-serangga ini dipilih karena memiliki kandungan protein ywng tinggi, asam amino esensial, vitamin, dan mineral, serta rendah lemak jenuh. Keputusan ini disambut baik oleh para ahli serangga seperti Skye Blackburn, seorang ahli entomologi dan ilmuwan pangan Australia, yang telah lama mengadvokasi manfaat nutrisi dan lingkungan dari konsumsi serangga. Ia melihatnya sebagai tanda keterbukaan Singapura terhadap alternatif pangan yang inovatif dan berkelanjutan.

Sebuah jaringan restoran Singapura, House of Seafood, bahkan telah bersiap menyajikan 30 hidangan berbasis serangga, termasuk sushi dengan hiasan ulat sutra, kepiting telur asin dengan superworms (larva kumbang gelap), dan bakso dengan topping cacing. Menu-menu inovatif ini diharapkan dapat menarik minat konsumen dan meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap serangga sebagai bahan pangan.

Produk-produk serangga impor yang diizinkan antara lain minyak serangga yang kaya akan asam lemak tak jenuh ganda, pasta mentah dengan tambahan serangga yang meningkatkan kandungan protein dan serat, cokelat dan permen dengan kandungan serangga tidak lebih dari 20%, serta larva lebah, grub kumbang, dan pupa ulat sutera olahan yang menawarkan cita rasa dan tekstur unik.

Warisan Kuliner Serangga Global

Konsumsi serangga bukanlah fenomena baru, melainkan telah mengakar dalam sejarah panjang budaya kuliner di berbagai penjuru dunia. Praktik entomofagi, atau konsumsi serangga, telah ada selama ribuan tahun dan tersebar luas di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Serangga ternyata menyimpan kekayaan nutrisi yang jarang diketahui banyak orang. Kendati bayangan memakan serangga bikin bergidik, nyatanya di berbagai belahan dunia, serangga diolah untuk dijadikan lauk.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 2.205 spesies serangga telah menjadi bagian dari diet manusia di 128 negara, terutama di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di Asia, konsumsi serangga memiliki akar budaya yang kuat dan beragam. Di Thailand, misalnya, serangga seperti jangkrik, belalang, dan larva kumbang air raksasa menjadi camilan populer yang dijual di pasar-pasar tradisional dan warung makan pinggir jalan. Olahan serangga Thailand terkenal dengan cita rasa gurih dan pedasnya, sering kali digoreng dengan bumbu rempah atau ditambahkan ke dalam salad. Di Jepang, inago (belalang sawah) dan hachinoko (larva lebah) dianggap sebagai makanan tradisional yang memiliki nilai gizi tinggi. Sementara di Korea Selatan, beondegi (kepompong ulat sutera) merupakan camilan populer yang direbus atau dikukus.

Di Afrika, serangga seperti ulat mopane (larva ngengat) dan rayap menjadi sumber protein penting bagi masyarakat lokal, terutama di daerah pedesaan. Ulat mopane kaya akan protein, zat besi, dan kalsium, dan sering dikeringkan atau diasap untuk memperpanjang masa simpannya. Rayap, yang kaya akan lemak dan protein, biasanya digoreng atau dipanggang.

Singapura, sebagai negara kosmopolitan dengan beragam budaya kuliner, memiliki peluang besar untuk mengadopsi dan mengembangkan tradisi entomofagi dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dengan memanfaatkan kekayaan pengetahuan dan resep tradisional dari negara-negara lain, Singapura dapat memperkaya khazanah kulinernya dengan cita rasa dan nutrisi yang unik dari serangga. Selain itu, dengan menerapkan inovasi kuliner dan teknologi modern, Singapura dapat menciptakan hidangan serangga yang menarik dan lezat, sehingga dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap serangga sebagai bahan pangan yang berkelanjutan dan bergizi.

Keunggulan Serangga Dibanding Ternak Konvensional

PBB secara aktif mendorong konsumsi serangga sebagai alternatif protein yang berkelanjutan karena keunggulannya yang signifikan dibandingkan ternak konvensional seperti sapi, babi, atau ayam. Salah satu keunggulan utama serangga adalah tingkat konversi pakan yang tinggi yang mengacu pada efisiensi serangga dalam mengubah pakan menjadi massa tubuh. Sebagai contoh, jangkrik (Acheta domesticus) memiliki tingkat konversi pakan sekitar 1,7, artinya mereka membutuhkan 1,7 kg pakan untuk menghasilkan 1 kg massa tubuh. Bandingkan dengan sapi yang memiliki tingkat konversi pakan sekitar 8, yang berarti mereka membutuhkan 8 kg pakan untuk menghasilkan 1 kg massa tubuh. Ini menunjukkan bahwa serangga jauh lebih efisien dalam memanfaatkan sumber daya pakan, sehingga mengurangi tekanan terhadap produksi pakan ternak yang seringkali membutuhkan lahan dan air yang luas. (*)

Menulis di Uwrite bisa dapat penghasilan, Investasikan tulisan anda sekarang juga
Daftar di sini

Jika anda keberatan dan memiliki bukti atau alasan yang kuat bahwa artikel berita ini tidak sesuai dengan fakta, anda dapat melakukan pengaduan pada tautan ini

Tulis Komentar