Asal-Usul Gelar & Panggilan "Haji" di Indonesia, Bukan dari Arab Tapi Kolonial Belanda
Uwrite.id - Di Indonesia, terdapat sebuah kebiasaan menarik yang terjadi setiap kali seseorang pulang dari ibadah Haji di Tanah Suci selama 40 hari. Mereka akan dipanggil dengan sebutan "Pak/Bu Haji" atau menyertakan gelar "H" di depan namanya. Bahkan, tak jarang orang yang belum pergi haji juga dipanggil dengan sebutan serupa. Namun, perlu diketahui bahwa panggilan semacam ini bukan bagian dari syariat Islam atau aturan dari Kerajaan Arab Saudi.
Panggilan 'Haji' hanya ditemukan di Indonesia, dan ternyata memiliki akar dari masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejarah panggilan ini dapat ditelusuri hingga dua abad yang lalu, ketika pergi haji tidak hanya dipandang sebagai suatu kegiatan bisnis, ibadah, atau spiritual, tetapi juga memiliki dimensi politik.
Hal ini dikarenakan jamaah haji asal Indonesia dahulu kala sering kali melakukan tindakan-tindakan yang dianggap "berulah" setelah pulang dari Makkah. Dalam pandangan pemerintah kolonial, para jamaah ini seringkali mempelajari hal-hal baru selama berada di Tanah Suci.
Ketika mereka pulang ke kampung halaman, mereka menyebarkan ajaran-ajaran baru yang dapat memicu rakyat di kalangan bawah untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sebuah buku berjudul "Indonesia dan Haji" yang ditulis oleh Jacob Vredenbregt pada tahun 1997 menyebutkan bahwa pemikiran semacam ini pertama kali muncul pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1810-an.
Pada saat itu, Daendels berpikir bahwa penduduk pribumi yang pulang dari haji seringkali menghasut rakyat untuk memberontak saat mereka berpergian. Oleh karena itu, Daendels meminta para jamaah haji untuk mengurus paspor haji sebagai tanda pengenal.
Pemikiran serupa juga muncul pada masa penjajahan Inggris di Indonesia melalui Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Dalam catatannya yang berjudul "History of Java" (1817), Raffles bahkan secara terang-terangan "menyerang" orang-orang yang pergi haji.
Dia menyebutkan bahwa orang Jawa yang pergi haji itu sok suci. Karena dengan kesuciannya itu mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.
Meskipun demikian, menurut tulisan Dien Madjid dalam bukunya yang berjudul "Berhaji di Masa Kolonial" (2008), kebijakan politik terkait haji baru diterapkan secara menyeluruh pada tahun 1859 melalui aturan khusus. Aturan ini mengatur mekanisme penerimaan bagi orang yang baru saja pulang dari haji.
Melalui mekanisme ini, mereka harus melewati serangkaian ujian. Jika mereka lulus ujian, mereka diharuskan untuk menggunakan gelar haji dalam sapaan atau nama mereka. Mereka juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, seperti jubah ihram dan sorban putih.
Latar belakang aturan ini sebenarnya berangkat dari ketakutan dan trauma pemerintah Hindia Belanda. Pada abad ke-19, banyak pemberontakan yang dimulai oleh mereka yang pulang dari haji. Salah satu pemberontakan terbesar adalah Perang Jawa yang terjadi dari tahun 1825 hingga 1830.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pemerintah melihat semua ini dengan kewaspadaan yang tinggi. Melalui penggunaan gelar haji, pemerintah dapat dengan mudah mengawasi mereka.
Apabila terjadi pemberontakan, pemerintah dapat segera menangkap orang-orang yang bergelar haji di suatu daerah. Hal ini tentu lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan mencari dalang di balik pemberontakan tersebut.
Dalam pandangan pemerintah kolonial, jamaah haji menjadi pihak yang memimpin pemberontakan.
Dari sinilah, bermula sejarah penyebutan gelar haji di Indonesia. Sejak adanya aturan tersebut, pemerintah kolonial tidak pernah mengurangi ketatnya pengawasan. Pada abad ke-20, ketika ajaran Islam menyebar dari Makkah ke Indonesia, mereka tetap mengawasi dengan ketat mantan jamaah haji.
Namun, proses dekolonisasi di Indonesia setelah kemerdekaan tidak menghilangkan panggilan politis ini. Sehingga, panggilan tersebut tetap diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tulis Komentar