APBN RI Akan Sangat Sehat Jika BBM Limbah Sawit Diproduksi
Uwrite.id - Pada penyelenggaraan ekspo EBTKE ConEx 2023 di Pagedangan, Kabupaten Tangerang belum lama ini, perhatian pengunjung terfokus pada satu stand yang menampilkan suatu hasil riset dari tim peneliti UI.
Stand tersebut ternyata menyajikan suatu temuan yang mencengangkan publik, yaitu adanya solusi bahan dasar BBM mesin diesel yang berbasis limbah sawit cair.
Sudah berlalu momentum negeri ini melepaskan beban neraca APBN untuk BBM. Terutama saat itu, beban negara berasal pembiayaan importasi bahan dasar migas dari luar negeri.
Impor terjadi diakibatkan posisi Indonesia berubah dari negara pengekspor menjadi negara net-importer minyak mentah. Hal ini diselesaikan dengan pencabutan subsidi BBM impor secara bertahap hingga menjadi nol.
Kini, tantangan itu bergeser menjadi bagaimana memecahkan tingginya nilai subsidi CPO B30 untuk kebutuhan biodiesel di dalam negeri.
Tim peneliti yang berupaya meriset bahan dasar alternatif, sebagai jalan keluar akan prahara beban subsidi B30 yang dirasakan dewasa ini, berada di bawah naungan kelompok riset Universitas Indonesia.
Peneliti ini mempunyai base tempat penelitian di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Menurut Dedy Alamsyah, salah satu peneliti, di kawasan tersebut, terdapat banyak perkebunan kelapa sawit dengan kolam-kolam limbah cair pabrik minyak sawit yang merupakan material residu tidak terpakai.
Limbah cair ini disebut sebagai Palm Sludge Oil, demikian dipaparkan oleh Dedy Alsmsyah salah satu peneliti Biodiesel-GD ini.
Menurutnya lagi, jika asumsi subsidi 5 ribu rupiah per liternya untuk pencampuran CPO di B30 saat ini, maka untuk 10,52 juta ton kebutuhan biodiesel akan menguras anggaran 52,55 triliun. Hal ini sungguh miris, imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, dikutip dari data ekonom Awalin Rizky, negara memiliki banyak kebutuhan pembangunan dan juga beban yang sangat besar.
Di samping beban utang yang sudah mendekati 8.000 triliun, budget fiskal negara RI tersedot oleh banyak pembelanjaan yang fantastis, seperti pembangunan IKN, beban kewajiban ke China akibat cost-overrun pembangunan Kereta Api cepat Jakarta-Bandung serta ekses utang negara selama masa pandemi untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan pengendalian Covid-19 yang bersumber dari pinjaman jangka panjang, mengutip Awalyn Rizki lagi.
Melengkapi penjelasan Dedy, Romulo yang juga anggota tim peneliti Biodiesel-GD, nama yang disematkan untuk karya spektakuler anak bangsa tersebut, dengan asumsi produk mereka yang dibandrol seharga 9.070 rupiah perliter, negara akan menghemat sebesar 41,02 triliun pertahun, dan ditambah lagi dengan profit dari petani sawit 31,53 triliun.
Dengan demikian, kontribusi pada penerimaan negara dari hasil riset berupa Palm Sludge Oil ini apabila dikembangkan menjadi mass production berskala nasional, adalah mencapai 72,55 triliun, sebagaimana dikutip dari Fact Sheet keluaran tim.
Tentu, angka tersebut dapat digunakan untuk membiayai konstruksi IKN hingga selesai, perpanjangan rel kereta cepat hingga Surabaya, melunasi 100% utang negara hingga banyak program-program pengentasan kemiskinan, sembako, juga Raskin.
Dan tidak luput pula, akan mengcover listrik gratis perdesaan, peningkatan gizi keluarga miskin, pembangunan 1 juta rumah layak huni bagi MBR, wajib belajar bebas biaya warga RI hingga S2, penanggulangan stunting dan lainnya yang tidak lagi tertangani oleh karena kemampuan APBN yang timpang.
Dedy, menyayangkan bahwa kreasi tim ini belum terdengar hingga ke telinga presiden. Namun, dirinya yang juga turut membidani riset katalis Merdeka - sebagai instrumen penunjang riset PSO ini, senantiasa optimis.
Sikap optimistik ini, tukas Dedy kembali kepada media, di antaranya adalah bisa jadi, ke depan, dengan formulasi harga bahan baku yang sangat berbiaya rendah, karya timnya tentu memiliki daya tarik guna dikembangkan menjadi solusi.
Limbah sawit cair sebagai bahan dasar Biodiesel-GD akan melejit, menjadi sumberdaya cemerlang di masa depan, ujar Dedy Alamsyah.
Limbah yang dikenal dengan istilah Palm Sludge Oil (PSO,) ini, tak ayal lagi, akan meregenerasi Mandatory B30, yang mana telah dicanangkan presiden guna menuntaskan diversifikasi energi dan ketergantungan negara dari bahan bakar fosil, sambungnya.
Tambahan lagi, ujar Dedy, berdasarkan perhitungan komparasi antara penggunaan biodiesel berbasis limbah sawit cair (PSO) dengan penggunaan campuran CPO di program Mandatory B30; terdapat besaran selisih subsidi sebesar 21 triliun rupiah.
Yang pasti, pada B30 berbasis CPO, negara harus menyediakan ekstra anggaran 5.000 rupiah perliter dikalikan dengan kebutuhan 10,51 juta ton (data 2022). Data ini bersumber dari perhitungan yang diterakan pada Fact Sheet resmi tim peneliti berbakat tersebut.
Sedangkan, jika pemerintah memiliki political will guna mengembangkan temuan Dedy, Romolo, Prof Suyud dan kawan-kawan ini concern berfokus menjadi industri inti strategis berskala nasional, anggaran untuk mensubsidi biodiesel negeri, hanya sebesar 3.000 rupiah perliter.
"Nah, ini terobosan yang mau tidak mau, pemerintah harus bisa ambil, demi menyelamatkan beban fiskal APBN," timpal Dedy.
Kementerian ESDM memiliki roadmap pengembangan dan cetak biru (blue print) Biosolar dengan pencampuran bahan bakar diesel menggunakan metode B30. Namun, ini sebuah harga yang tentunya harus dibayar dengan pengalokasian APBN yang tidak sedikit jumlahnya, jika merujuk kepada analisis ekonom Awalyn Rizki.
Opportunities pengurangan subsidi tentu tercipta jika Palm Sludge Oil didayagunakan, karena negeri ini kaya akan limbah sawit cair, di sekitar PKS-PKS jutaan hektar di banyak lokasi di seluruh zone sawit, demikian ujar Romolo, rekan Dedy di tim peneliti.
Ditambahkan oleh Georgius Romolo lagi, kadar FTA yang tinggi dari limbah sawit cair dapat diolah dengan metode tranesterification. Pada umumya, metode tersebut dapat diterapkan jika FTA kurang dari 2%.
"Temuan kami, biodiesel berbasis lmbah cair PSO kami, mempunyai kadar kurang lebih 83%, bersertifikat SNI No. 11071 Sucofindo, sehingga lolos baku uji 20 persyaratan SNI Biodiesel kita. Sudah barang tentu, produk ini sangat layak untuk menggantikan CPO dalam pencampuran BBM diesel untuk konsumsi kendaraan bermesin diesel maupun industri," pungkas Romolo, menutup keterangannya kepada media.
Tulis Komentar